HUMAN IMMUNODEFICIENCY VIRUS (HIV) DAN SISTEM IMUN MANUSIA


1. HIV (human immunodeficiency virus) dan AIDS (Acquired immunodeficiency syndrome)

            Acquired immunodeficiency syndrome (AIDS) diidentifikasi sebagai suatu penyakit yang baru pada tahun 1981 dan agen penyebabnya, yaitu virus HIV (human immunodeficiency virus) teridentifikasi pada tahun 1983. Virus HIV yang telah diketahui antara lain HIV-1 dan HIV-2. Kedua tipe virus HIV tersebut mempunyai kesamaan struktur, tropisme dan akibat yang ditimbulkan, meskipun keduanyan mempunyai homologi sekuens nukleotida yang terbatas (42%) dan reaktivitas antigenik silang yang terbatas pula. Virus HIV ditularkan paling utama melalui aktivitas seksual, pertukaran darah atau cairan tubuh yang telah terkontaminasi virus dan dari ibu ke anaknya. Limfosit T CD4+, monosit dan makrofag adalah target yang utama dari HIV (Pantaleo, 2007).

<--!more-->
            Human immunodeficiency virus (HIV) tidak menyebar dari satu orang ke orang yang lain dengan mudah. Seseorang dapat terinfeksi melalui darah yang terinfeksi HIV, cairan vagina, semen dan air susu. Hal ini dapat terjadi dalam proses aktivitas seksual. Beberapa aktivitas tidak dapat menyebarkan virus HIV, misalnya batuk, bersin dan berbagi peralatan tumah tangga dengan penderita AIDS (International AIDS Society. 2003).
           
2. Aktivasi Imunitas dalam Individu terinfeksi Virus

            Manusia mempunyai aksi pertahanan terhadap infeksi yaitu: barrier permukaan, pertahanan innate dan respon adaptif. Pada saat pathogen berupa virus seperti HIV menginfeksi suatu sel, sel tersebut merespon adanya infeksi tersebut, baik dengan mekanisme immune melalui sel B maupun sel T. Dalam kaitannya dengan infeksi virus HIV, yang paling berperan adalah imunitas adaptif, dimana imunitas ini di perankan oleh sel-sel T khusunya sel T killer (CD4+) dan sel T helper (Th). Sel T CD4+ mengenalkan molekul-molekul asing atau antigen asing kepada protein-protein host dan membantu sel B melalui pengeluaran sitokin-sitokin dalam proses pembentukan antibodi. Antibodi inilah yang mempunyai potensi dalam menetralkan virus yang ada dalam sel host, dan dengan cara seperti itulah terjadi pencegahan infeksi oleh virus pada sel target dalam tubuh. Sel-sel kompeten dalam sistem imun manusia juga mempunyai peran dalam pelisisan sel-sel yang terinfeksi dengan cara menginduksi aktifnya sel Natural Killer (NK) dalam sitotoksisitas termediasi sel tergantung peran antibodi (termed antibody-dependent cell-mediated cytotoxicity). Sel T CD4+ juga membantu dalam stimulasi dan perekrutan subset lain sel T, sel T CD8+, misalnya melalui pengeluaran sitokin-sitokin tertentu. 
 Gambar 1. struktur virus HIV

Sel T CD8+, umumnya mengacu pada limfosit T sel (CTL), mampu untuk melisiskan sel-sel yang terinfeksi virus dengan cara mengenali ikatan antigen asing dengan protein host. Sel-sel CD4+ mempunyai peran yang sangat penting dalam proses respon host atau inang terhadap pathogen dan infeksi HIV. 

3. Jalur Klinis Infeksi HIV

            Jalur klinis infeksi HIV secara umum meliputi tiga fase atau tahapan
  1. infeksi primer
  2. clinical latency (latensi klinis)
  3. AIDS


Infeksi primer kemungkinan berhubungan dengan sindrom keserupaan mononukleosis. Oleh karena kurangnya kespesifisitasan dan banyaknya variabel dalam sindrom klinis dan adanya fakta bahwa diagnosis darah untuk uji infeksi HIV (deteksi antibodi HIV) mempunyai hasil yang negatif, infeksi primer secara umum tidak dapat diantisipasi atau tidak disadari. Berdasarkan Gambar 2 tersebut, selama periode awal setelah infeksi primer terdapat penyebaran virus yang luas dan penurunan yang tajam dalam viremia oleh lamanya latency klinis. Jumlah sel T CD4+ secara terus menerus berkurang dalam tahun-tahun berikutnya hingga mencapai level kritis dimana terdapat risiko terjadinya penyakit-penyakit yang lainnya (Pantaleo, 2007).
Resolusi sindrom klinis dan downregulation viremia secara umum terjadi dalam 6-8 minggu kemudian diikuti dengan gejala-gejala yang berkaitan dengan kemunculan respon imun spesifik terhadap HIV. Downregulation viremia menandai terjadinya transisi dari infeksi primer menuju fase laten, yaitu sekitar 8-10 tahun. Meskipun tidak disadari (silent), fase laten ini berhubungan dengan replikasi virus HIV yang tinggi di dalam jaringan limfoid dan dengan pengurangan secara terus-menerus jumlah sel T limfosit CD4+. Kemudian dilanjutkan dengan pengurangan jumlah sel T limfosit hingga hanya 200 sel/mikroliter.  Ketika berada dalam tahap ini, maka akan terjadi banyak penyakit yang oportunistik yang dapat mengakibatkan kematian.

 
4. Mekanisme Efektor Imunnitas Antiviral

            Mekanisme efektor imunitas antiviral meliputi humoral spesifik dan respon imun termediasi sel. Dengan memperhatikan respon imun humoral, komponen protektif dalam respon ini diwakili oleh antibodi penetral, misalnya antibodi yang berikatan dengan partikel virus bebas dan mencegah transmisi virus menuju sel target. Komponen protektif dalam respon imun termediasi sel diwakili oleh limfosit T sitotoksik (CTL) yang dikarakterisasi oleh molekul permukaan CD8+. Limfosit T sitotoksik mampu untuk melisiskan sel yang terinfeksi virus melalui pengenalan kompleks yang terbentuk oleh peptide virus spesifik dan hasil antigen MHC kelas I pada permukaan sel yang terinfeksi. Kemanjuran mekanisme efektor antiviral sangat tergantung pada karakter biologis virus penginfeksi. Respon imun humoral spesifik, misalnya antibodi penetral, sangat efektif dalam melawan virus sitopatik dengan lisis termediasi terhadap sel target, menyebabkan pengeluaran partikel virus yang dapat di netralkan oleh antibodi spesifik.


5. Mekanisme HIV Lolos dari Sistem Imun

            Virus mempunyai suatu mekanisme untuk menghindari sistem imun dan tetap bertahan pada tubuh inang hingga tahapan infeksi kronis. Hal ini meliputi adanya latensi virus, penghambatan prosesing atau presenting antigen, mutasi pada epitop virus yang dikenali oleh imunoglobulin atau CTL dan mutasi virus yang mengubah ikatan dengan molekul MHC atau TCR sehingga menyebabkan antagonisme peptida.
Keberhasilan HIV tetap viabel dalam tubuh inang dan menjadi penyebab menurunnya atau memeburuknya sistem imun masih sulit untuk dijelaskan. Respon imun termediasi sel dan respon imun humoral yang kuat dapat dideteksi dalam kurun waktu awal infeksi primer dan dapat terus berada dalam kondisi seperti itu selama bertahun-tahun tanpa adanya pencegahan infeksi kronis atau blocking perkembangan penyakit HIV. Respon imun yang serupa telah ditunjukkan bersifat efektif untuk melawan patogen virus lainnya, misalnya Epstein-Barr Virus (EBV), virus influenza, virus herpes dan cytomegalovirus (CMV). Meskipun EBV, CMV, dan virus herpes berada dalam tubuh inang, respon imun antivirus yang dikeluarkan mampu untuk mendesak atau mengontrol virus dalam waktu yang lama (long term). Hal yang membedakan antara HIV dari EBV, CMV dan virus herpes adalah virus HIV mengembangkan beberapa strategi pada saat penggandaan diri yang cepat yang bertentangan dengan respon imun protektif. Keberhasilan strategi ini sangat dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain: 1) waktu mekanisme patogenesis; 2) luas spektrum komponen efektor respon imun yang ditarget; 3) kemampuan HIV untuk mengubah mekanisme efektor antiviral menjadi mekanisme pertahanan diri; 4) lemahnya pematangan memori CTL yang spesifik terhadap HIV (Pantaleo, 2007).





PUSTAKA

Aegis. 2005. Immune Response to HIV. www.aegis.com.  Tanggal akses 14 Desember 2009
International AIDS Society. 2003. Perspective Making Sense of the HIV Immune Response. Volume 11 Issue 1 January/February 2003
Pantaleo, G. 2007. Mechanisms Of Human Immunodeficiency Virus (Hiv) Escape From The Immune Response. www.cloetta-stiftung.ch/pantaleo-ref.pdf. Tanggal akses 14 Desember 2009





for download the .doc file, pleas follow this link


http://www.ziddu.com/download/11564638/resumeHIV.doc.html

Tulisan Terkait



0 comments:

Post a Comment

New Category!!

Beberapa hal yang penting untuk diketahui para remaja pada saat mulai memasuki usia puber. KLIK!!

KAMU UPLOAD, DAPET DUIT!!! FILE HOSTING GRATISS!!