Antigen Presentation to T Lymphocyte
Limfosit dihasilkan dalam organ limfoid primer dan berfungsi dalam organ sekunder tempat sel-selnya mengenali dan bertindak terhadap bahan asing. Pada dasarnya terdapat tiga jenis sel limfosit yaitu sel natural killer (NK), sel T dan sel B, tetapi hanya sel T dan sel B yang mempunyai sepesifisitas dan ingatan untuk suatu antigen. Dalam tahap awal perkembangannya, limfosit tidak mempunyai reseptor permukaan tetapi apabila telah dewasa (mature), sel ini mulai mengekspresikan reseptor antigen yang berlainan untuk menjadi responsif terhadap stimulasi antigen. Limfosit juga mengekspresikan molekul permukaan yang lain yang penting untuk berinteraksi dengan sel-sel lainnya, termasuk molekul yang diperlukan untuk aktivasi dan untuk pergerakan atau transportasi ke dalam dan ke luar jaringan badan. Molekul permukaan inilah yang bertindak sebagai penanda untuk membedakan sel T dan sel B.
Selain sel B, kelas utama sel-sel limfosit yang lain adalah sel limfosit T. Prekursor sel T dibentuk dalam sum-sum tulang belakang (bone marrow) yang akan bermigrasi dan bermaturasi dalam timus dan karena itulah dikenal sebagai sel T. Sel limfosit T dibagi menjadi dua golongan yaitu sel T helper (Th) dan sel T sitotoksik (Tc). Fungsi utama sel T adalah untuk meregulasi atau mengatur semua respon imun terhadap protein antigen dan bertindak sebagai sel efektor untuk mengatasi dan menghilangkan sel yang mengalami infeksi mikroba atau antigen lainnya dan untuk membantu sel B dengan meningkatkan responnya.
Respon imun terhadap infeksi antigen secara spesifik disebut sebagai imunitas adaptif. Imunitas adaptif memiliki beberapa fase diantaranya adalah fase pengenalan, aktivasi, efektor, homeostasis, dan memori. Respon terbentuknya antibodi merupakan akhir dari serangkaian interaksi antara makrofag, sel T dan sel B terhadap hadirnya antigen (Cruse dan Lewis, 1999). Menurut Abbas dan Lichtman (2005), fase-fase imunitas adaptif adalah:
1. Fase pengenalan antigen
Setiap individu memiliki berbagai klon limfosit, setiap klon tersebut muncul karena adanya prekursor yang mengakibatkan sel mampu mengenali dan merespon antigen yang berbeda. Apabila antigen masuk, maka antigen tersebut akan memilih klon sel yang memiliki reseptor spesifik sesuai dengan antigen tersebut dan mengaktifkan sel penghasil antibodi.
2. Aktivasi Limfosit
Aktivasi sel limfosit memerlukan dua sinyal yaitu dari antigen dan yang kedua adalah dari komponen innate immunity yang merespon adanya mikroba atau sel yang mengalami luka. Respon limfosit terhadap antigen dan sinyal kedua menghasilkan protein baru, proliferasi seluler dan diferensiasi menjadi sel efektor dan sel memori.
3. Fase efektor (eliminasi antigen)
Pada saat fase efektor ini, limfosit yang telah teraktivasi secara spesifik oleh antigen akan membentuk fungsi efektor yang akan mengeliminasi antigen. Antibodi dan sel T akan mengeliminasi mikroba secara ekstras seluler dan intraseluler.
4. Homeostasis
Pada fase terakhir respon imun, sistem imun akan kembali pada keadaan awal. Hal ini disebabkan karena sel limfosit mengalami program kematian dengan sistem apoptosis.
Sel limfosit Th dan Tc mempunyai spesifisitas yang luar biasa terhadap antigen. Sel-selnya hanya mengenali peptida antigen yang terikat pada protein yang dikodekan oleh gen major hystcompatibility complex (MHC). Molekul MHC ini diekspesikan pada permukaan sel tertentu yang dikenali sebagai antigen presenting cell (APC). Satu penemuan penting dalam identifikasi dan analisis subset sel T ini adalah bahwa populasi sel ini mengekspresikan protein permukaan yang berlainan yang bertindak sebagai penanda fenotip. Misalnya sel Th mengekspresikan satu protein permukaan yang disebut CD4, sementara sel Tc mempunyai satu protein permukaan yang disebut CD8.
Major Histocompatibility Complex (MHC)
Terdapat 2 jenis molekul MHC, yaitu kelas I dan kelas II. Molekul-molekul ini tergolong ke dalam superfamili imunoglobulin, tetapi MHC tersebut bukan imunoglobulin. Molekul MHC kelas I berada pada permukaan semua sel yang mempunyai nukleus tetapi molekul MHC kelas II menunjukkan corak pengekspresan yang lebih terbatas. Major Histocompatibility Complex kelas II diekspresikan pada permukaan sel B, sel dendritik dan sel epitelium timus. Pada sel-sel lain seperti makrofag, sel T yang teraktivasi dan sel endotelium, pengekspresiannya dipengaruhi oleh sitokin seperti IFN.
Molekul MHC I terdiri dari satu rantai (43 kDa) dan satu peptida kecil mikroglobulin (12 kDa). Rantai terdiri dari 3 domain luar sel yang disebut , dan . Lekuk (alur) (groove) yang terbentuk dari domain dan merupakan hasil penggabungan peptida. Suatu molekul MHC I dapat bergabung dengan beberapa jenis peptida tetapi lebih cenderung bergabung dengan peptida yang mempunyai motif tertentu, yaitu peptida-peptida yang mempunyai motif asam amino (antara 8 -9 residu) yang sama pada kedudukan tertentu. Ini bermakna suatu molekul MHC dapat bergabung dengan banyak peptida yang berbeda motif asam amino.
Molekul MHC kelas II terdiri dari satu rantai (35 kDa) dan satu rantai (28 kDa). Domain luar sel molekul MHC II disebut , , dan . Lekuk pada molekul MHC II terbentuk dari interaksi domain dan . Lekuk ini bergabung dengan peptida linear (12 - 20 asam amino).
Molekul-molekul MHC mempunyai 2 fungsi utama:
• bergabung dengan peptida dari antigen protein
• berinteraksi dengan reseptor sel T (TCR) setelah peptida tersebut tergabung
Patogen seperti bakteri dan virus dapat memasuki dan menginfeksi sel tubuh. Sel T diperlukan untuk mengatasi sel-sel yang terinfekasi oleh antigen tersebut. Oleh karena itu sel T harus dapat membedakan antara sel terinfeksi dan sel tak terinfeksi. Aktivitas tersebut dapat dilakukan dengan adanya peptida yang berasal dari antigen yang membentuk kompleks dengan MHC. Proses penggabungan dan penampilan antigen tersebut di permukaan sel terinfeksi kepada sel T disebut dengan pemprosesan dan persembahan antigen (antigen processing and presentation). Molekul MHC berperanan penting dalam fenomena ini kerana ia bergabung dengan pecahan peptida tertentu di dalam sel dan mengangkutnya ke permukaan sel. Pada permukaan sel kompleks peptida dan molekul MHC akan dikenali oleh sel T yang mempunyai reseptor sesuai. Oleh kerana peranan penting yang dimainkan oleh molekul MHC dalam interaksi dengan sel T, aktivitas sel T bersifat terbatas oleh MHC (MHC-restricted). Fungsi molekul MHC I ialah untuk mempersembahkan peptida yang berasal dari protein asing kepada sel T CD8+ (sel T sitotoksik) dan fungsi molekul MHC II adalah mempersembahkan peptida kepada sel T CD4+ (sel T penolong).
Selain makrofag, sel B, sel dendritik dan sel epitelium juga dapat memproses dan mempersembahkan antigen. Sel yang mempersembahkan antigen (antigen presenting cells; APC) mencerna antigen menjadi peptida kecil. Proses ini disebut pemprosesan antigen. Kemudian kompleks peptida-MHC diekspresikan pada permukaan APC. Katabolisme protein menjadi peptida terjadi dalam 2 bagian sel: (1) dalam sitoplasma dan (2) dalam vesikel. Peptida yang dihasilkan dalam sitoplasma APC akan bergabung dengan molekul MHC I. Antigen-antigen ini disebut juga antigen endogen (endogenous antigen) dan contoh-contohnya termasuk protein virus yang disintesis oleh sel terinfeksi. Antigen eksogen (exogenous antigen) (yaitu yang dihasilkan di luar APC, seperti banyak protein bakteri luar sel) yang memasukki sel melalui fagositosis, endositosis atau pinositosis, akan bergabung dengan molekul MHC II setelah pemrosesan dalam vesikel. Peptida-peptida yang dihasilkan dari hasil pemecahan protein antigen kemudian menjadi epitop imunodominan untuk antigen ini dalam individu tersebut.
CD4+CD25+ Regulatory T cell
T regulator (Treg), yang mengandung protein CD4+CD25+ pada permukaannya, memiliki peranan pada proses pembedaan self dan nonself. Treg atau yang dulunya dikenal sebagai sel T suppressor, merupakan suatu bagian sel T yang memiliki kekhususan untuk menghambat aktivasi sistem imun, sehingga akan mencegah terjadinya reaksi autoimun yaitu suatu keadaan dimana sistem imun akan menyerang sel-sel sehat pada tubuh (self) antigen. Sel Treg dalam fase yang aktif akan mensekresi interleukin-10 (IL-10) dalam jumlah besar dan transforming growth factor-beta (TGF-B) dimana keduanya merupakan mediator sel yang berfungsi sebagai imunosupresan. Kedua limfokin ini akan menghambat produksi T-cell helper (CD4+) dan T-cell Sitotoksik (CD8+) sehingga akan menghambat respon imun. Respon imun juga dihambat oleh melalui interaksi cell-to-cell antara Treg dengan T-cell CD4+ dan CD8+ (Gambar 4). Gambar 4 dibawah ini menjelaskan secara singkat mengenai mekanisme kerja imunoregulasi yang dilakukan Treg. CTLA-4 pada Treg dapat merangsang sel-sel dendritik untuk menghasilkan IDO yang dapat mengurangi atau menkatalisasi tryptophan, suatu asam amino yang penting untuk memecah sel secara cepat, sehingga dapat menghambat produksi sel T Sitotoksik dan mencegah proliferasi sel T.
CD4+CD25 high sel Treg mengeluarkan CD28 pada permukaannya dan juga menghasilkan CTLA-4 intraselular namun tidak pada permukaannya. Stimulasi via T cell receptors dan CD28-mediated costimulasi dibutuhkan sel-sel Treg untuk melakukan supresi. Dalam keadaan teraktivasi CD4+CD25 high Treg cells dapat menghasilkan CTLA-4 pada permukaannya dan menekan CD4+ T cells dan CD8+ T cells melalui interaksi antar sel atau sekresi sitokin imunoregulatori seperti TGF-B atau IL-10, serta memicu ekspresi IDO pada APC. Peranan T Regulator yang diharapkan dapat mengarah pada dua mekanisme yang berbeda. Peningkatan kadar T Regulator dapat menginhibisi sifat sitotoksik dari CD8 dan sel Natural Killer (NK) melalui mekanisme langsung dari sel ke sel (Rusdi, 2009). T cell receptor juga mempunyai peranan dalam proses apoptosis sel. Proses ini terjadi apabila sel T mengenali antigen-diri (self antigen) dan merupakan suatu proses yang diperlukan untuk menyingkirkan sel T autoreaktif. Apoptosis ini disebut apoptosis yang diinduksi aktivasi (activation induced apoptosis).
Apoptosis yang diinduksi aktivasi ini juga terdiri atas fase induksi yang dirangsang dengan pengikatan TCR, disusul oleh fase efektor di mana terjadi berbagai reaksi biokimia untuk melangsungkan apoptosis (Kresno, 2006).
PUSTAKA
Kresno, S.B. 2006. Disregulasi Apoptosis pada Keganasan: Telaah Khusus pada Astrocytoma. Simposium: Apoptosis Charming to Death. Jakarta: 8-10 Desember 2006
Rusdi, G. 2009. Sebaran Kadar Sel T Regulator Cairan Peritoneum Pasien Endometriosis. Departemen Obstetri dan Genekologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo. Jakarta
http://pkukmweb.ukm.my/~danial/Tajuk.htm
for getting the .doc file, you can download it by click this link
3 comments:
wah., sepertinya saya bakalan sering2 kemari nih buat cari bahan laporan., sip.,
wakakakak...silakan mampir...
hahahaha...
makasih ya mas... ^^
(Bio UB '08)
Post a Comment